Pada zaman orde baru dulu, banyak pejabat berpidato bahwa politik harus ditinggalkan. Sebab dengan berpolitik terlalu jauh, maka bangsa tidak akan sempat membangun. Jika politik dikedepankan maka banyak orang akan berebut kekuasaan, sehingga melupakan program-program mensejahterakan rakyat.
Begitu memasuki zaman reformasi, ternyata pidato tersebut menjadi kenyataan. Partai politik yang semula hanya tiga buah, yaitu Golkar, PDI dan PPP, bertambah menjadi puluhan jumlahnya. Banyak orang ramai-ramai membuat partai politik. Idiologi apa yang akan diperjuangkan melalui partai yang didirikan itu, tidak selalu jelas. Seolah-olah yang penting mendirikan partai, dan menjadi pengurus partai politik.
Sebagaimana lazimnya, partai politik selalu memiliki idiologi tertentu, yang akan diperjuangkan untuk mensejahterakan rakyat. Dengan idiologi itu, maka para pendukungnya menjadi sangat fanatik. Membela partai seolah-olah menjadi pilihan hidupnya. Orang dengan idiologi itu berani berkorban demi partainya. Demikian pula, seolah-olah harga dirinya dipertaruhkan melalui partai politik pilihannya itu.
Atas dasar idiologi itu maka muncul distingsi yang jelas antar partai politik. Masing-masing partai politik semestinya memiliki idiologi yang jelas sebagai dasar perjuangannya. Sehingga, antar partai politik tatkala berebut pengaruh di tengah masyarakat selalu mendasarkan pada tawaran-tawaran idiologinya itu. Kualisi bisa saja terjadi, tetapi dilakukan oleh partai politik yang memiliki kesamaan atau setidaknya antar partai politik yang memiliki kesamaan atau kemiripan idiologis. Tidak akan mungkin antar partai politik yang secara idiologis berbeda jauh melakukan kualisi secara permanen.
Namun akhir-akhir ini agaknya aneh, koalisi antar partai politik rupanya tidak teratur, baik di antara daerah atau wilayah dan bahkan juga antar level bisa berbeda. Hal yang tampak misalnya, tatkala dilakukan pemilihan bupati atau wali kota, maka kualisi partai politik antar daerah dan wilayah bisa berbeda-beda. Di suatu kabupaten, koalisi terjadi misalnya antara PDIP, PPP, Partai Demokrat dan Golkar. Di tempat lain, PDIP bersaing dengan Golkar dan PAN. Lain lagi di kabupaten yang berbeda, PKS berkoalisi dengan PDIP dan Golkar dan lain-lain.
Anehnya lagi, perbedaan itu juga terjadi pada level yang berbeda, misalnya antara tingkat kabupaten atau kota dengan priopinsi dan juga tingkat pusat. Kualisi antar partai politik menjadi sangat ruwet. Tampak jelas bahwa ikatan kualisi itu bukan faktor ideiologis, sebagaimana yang terjadi pada umumnya, melainkan berdasar kepentingan untuk memenangkan orang-orang tertentu dalam jabatan politik, semisal bupati,. Wali kota, gubernur dan bahkan juga presiden.
Anehnya tatkala membela orang, partai politik juga hanya berdasar pada kekuatan orang yang bersangkutan. Bahkan kekuatan itu hanya bersifat material, yakni berapa besar yang bersangkutan mampu membayar dana partisipasi. Maka hal itu menunjukkan bahwa idiologi dan program partai tidak banyak berbicara, melainkan adalah sebatas uang. Dalam suasana seperti ini, maka uang sangat menjadi penentu segala-galanya terhadap kekuasaan.
Selain itu, iklim politik di era reformasi seperti sekarang ini, yang nyata-nyata terjadi adalah telah melahirkan jual beli atau transaksi-transaksi politik melalui uang. Hanya anehnya, di tengah-tengah suasana seperti itu masih ada semangat memberantas korupsi. Akhirnya, banyak pejabat, seperti bupati, wali kota, gubernur, anggota DPRD, DPR menjadi tersangka, karena telah ditengarai melakukan korupsi.
Hal demikian itu jika dilihatnya secara jeli, sesungguhnya bangsa ini tidak saja telah menderita kerugian secara financial, melainkan adalah rugi segala-galanya, termasuk pendidikan generasi anak bangsa mendatang. Tidak bisa kita bayangkan, berapa banyak anak menjadi frustasi karena merasa lahir dari keluarga kurup. Selain itu, bangsa ini akan miskin tokoh yang bisa diidolakan, padahal adanya sangat penting dalam dunia pendidikan.
Rupanya iklim politik dan korupsi memiliki hubungan yang signifikan. Oleh karena itu, semestinya jika benar-benar mau mengurangi tindak kejahatan korupsi, maka bukan saja KPK, kejaksaan, dan kehakiman yang diperkuat, tetapi seharusnya menata kembali kehidupan partai politik. Di era reformasi ini, partai politik tidak boleh hanya dihidupkan oleh uang, -----sekalipun itu perlu, tetapi mestinya oleh kekuatan lain, ------ yang boleh jadi, bersifat idiologis sehingga benar-benar melahirkan semangat dan kekuatan untuk mensejahteraean rakyat. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar